Oleh: Iko Rasaki
And
the people bowed and prayed to the neon god they’d made (Simon and Garfunkel)
Note:
Essay ini awalnya ditulis sebagai pengantar diskusi dengan kawan-kawan di
MAGENTA
Sebelum memulai tulisan ini, terlebih dahulu saya ingin
menegaskan alienasi seperti apa yang akan kita bicarakan. Dalam kesempatan ini,
saya akan fokus kepada alienasi dalam bentuknya yang lebih spesifik; reifikasi.
Reifikasi – yang sering dikutuk oleh banyak intelektual Marxist sebagai
penyakit masyarakat di bawah kekuasaan kapitalisme – dapat dimaknai sebagai
sebuah kondisi dimana kualitas manusia, tindakan manusia, hubungan antar
manusia dan bahkan manusia itu sendiri ditransformasikan menjadi benda atau
komoditas (Bottomore et al 463, Roberts
39, Walker and Grey 254-256). Secara singkat, reifikasi dapat dimaknai sebagai
kemenangan benda dan komoditas terhadap manusia.
Saya
akan mengajukan analisa saya terhadap iklan Honda baru yang bertajuk “One Heart”. Paling tidak ada dua alasan
kenapa saya memilih iklan ini untuk berbicara mengenai anak muda hari ini dan
alienasi. Pertama, salah satu cara untuk mengetahui bagaimana sebuah masyarakat
menghubungkan diri mereka dengan dunia adalah dengan cara “membaca” artefak
budaya yang dihasilkan ditengah masyarakat tersebut karena realitas sosial
dalam fase sejarah tertentu akan selalu termediasi dan mewujudkan dirinya dalam
setiap artefak budaya yang dihasilkan pada saat tertentu itu (Hitchcock 15,
Roberts 82). Kedua, iklan ini menampilkan banyak anak muda – selain
merefleksikan bagaimana anak muda hari ini membangun garis imajiner yang
menghubungkan diri mereka dengan dunia, penggunaan banyak anak muda sebagai
bintang iklan produk ini juga berpotensi untuk meng-interpelasi anak muda dalam
membentuk identitas mereka.
Sebelum
masuk ke analisa, saya akan menggambarkan sketsa dari iklan ini terlebih
dahulu. Iklan ini dibuka oleh cowok dan cewek yang penampilan sangat anak muda
hari ini yang menyayikan lagu yang liriknya: “Kita sangatlah beda/ Jalani hidup kita/, Mimpi kita satu/ Hati kita
satu.” Setelah mereka menyanyikan penggalan lirik ini, puluhan anak muda
yang penampilannya juga terlihat sangat anak muda hari ini (beberapa dari
mereka mengendarai produk Honda terbaru) segera memenuhi layar semesta pepat
dalam tabung dan bersama-sama ber-sing
along: “One Heart/ One Heart/ Terus
melangkah/ Bersama satu hati/ One Heart/ Ooo… Ooo One Heart.”
Sekilas iklan ini terlihat seperti sekedar mempromosikan
produk Honda dan sebuah usaha untuk mendefinisikan anak muda dengan produk
mereka. Namun pembacaan Marxist terhadap iklan ini menunjukkan hal lain: iklan
ini adalah gambaran dari logika masyarakat hari ini – termasuk anak muda. Hal
ini dapat dipahami jika kita melihat iklan ini sebagai sebuah teks utuh dengan
cara mengaitkan lirik jingle iklan
ini dengan keseluruhan narasi dari iklan ini. Dalam konteks analisa ini, saya
akan beragumen bahwa motor Honda sebagai sebuah komoditas adalah sinekdot dari
komoditas secara keseluruhan, dan jika dikaitkan dengan lirik lagunya yang
berbunyi: “Kita sangatlah beda/ Jalani
hidup kita/, Mimpi kita satu/ Hati kita satu/ One Heart/ One Heart/ Terus melangkah/ Bersama satu hati/ One Heart/
Ooo… Ooo One Heart.” Maka dapat dimaknai bahwa “mimpi” dan “hati” yang dinyanyikan
dalam jingle iklan ini dipersatukan oleh motor Honda yang seperti sudah saya
singgung sebelumnya dapat dimaknai sebagai sinekdot dari komoditas. Lebih jauh
lagi, saya juga melihat bahwa secara implisit iklan ini menunjukkan bahwa
manusia disubordinasikan oleh komoditas karena seperti yang diisyaratkan oleh
iklan ini “mimpi kita satu” dan “hati kita satu” jika kita dipersatukan
oleh satu benda atau komoditas yang menjadi ‘benda atau komoditas kunci’ bagi
komunitas kita. Ini sama artinya dengan menempatkan relasi antar manusia, dan
bahkan manusia itu sendiri sebagai pihak yang disubordinasikan oleh benda dan
komoditas, atau dengan kata lain: benda dan komoditas dulu baru relasi antar manusia
dan manusia itu sendiri (bisa dibaca: benda dan komoditas itu lebih penting
dari manusia dan kualitas kemanusiaannya).
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, iklan ini –
sebagai bagian dari artefak budaya yang dihasilkan dalam kapitalisme –
sebenarnya merupakan refleksi dari logika masyarakat yang hidup dalam kekuasaan
kapitalisme yang matahari tata suryanya adalah benda-benda, komoditas, dan medium dari komoditas itu
sendiri; uang. Dengan kata lain iklan ini adalah sebuah refleksi dari
rasionalitas masyarakat saat ini yang irrasional. Menurut Georg Lukacs (88) –
salah satu intelektual Marxist paling penting abad 20 – keirrasionalitasan (baca:
reifikasi) yang ter-refleksikan dalam iklan Honda ini merupakan masalah utama
masyarakat yang hidup dalam mode produksi yang mempunyai “prinsip rasionalisasi
yang mendasarkan dirinya pada apa yang dikalkulasi dan apa yang bisa
dikalkulasi”. Seiring dengan semakin majunya kapitalisme, prinsip ini semakin
merembes pada berbagai hal dalam kehidupan manusia sehingga apapun akhirnya
diukur layaknya mengukur komoditas yang diproduksi dan diperjual-belikan. Kemungkinan
untuk selamat dari proses mengerikan yang mentransformasikan setiap hal menjadi
komoditas dan benda semakin hari semakin kecil. Hal ini terjadi karena struktur
reifikasi yang ternyata berbanding terbalik dengan kemajuan kapitalisme (93).
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kemajuan yang dicapai oleh kapitalisme
maka semakin dalam reifikasi menghujam kedalam kesadaran manusia.
Jika contoh diatas kelihatan mirip dengan analisa
iklan Honda di atas, maka saya punya contoh yang lebih ironis; mereka yang
tergabung dalam komunitas yang mengaku komunitas counterculture – komunitas counterculture
dapat dimaknai sebagai komunitas yang menolak apa yang dianggap mapan oleh
masyarakat dominan (Thorne 54) – namun malah tidak punya cara lain untuk
mengekspresikan diri mereka sebagai sebuah komunitas atau sebagai seorang
individu dalam komunitas mereka selain dengan baju band original yang dibeli di
sebuah toko baju yang nama tokonya diambil dari judul lagu sebuah band punx yang justru sangat kritis terhadap
keirrasionalitasan masyarakat saat ini (sangat ironis bukan?). Saya kira inilah
salah satu perwujudan dari apa yang diilustrasikan oleh “Simon and Garfunkel”
ketika mereka menyanyikan baris “People
hearing without listening” dalam lagu mereka yang berjudul “Sounds of Silence” karena bagi anak-anak
muda ini, lagu dari band-band – seringkali lagu-lagu tersebut adalah kritik
terhadap masyarakat saat ini – yang merchandisenya
mereka pakai tidaklah penting. Bahkan andaikata band-band tersebut menyanyikan
lirik yang tidak dapat dimaknai dalam konvensi bahasa manapun tidak akan jadi
soal bagi mereka karena yang penting bagi mereka hanyalah komoditas yang
mewujudkan dirinya dalam merchandise
original yang mereka pakai. Jika baju band atau merchandise original dirasa terlalu spesifik, maka coba ganti baju
atau merchandise original tersebut
dengan benda atau komoditas lain yang menjadi ‘benda atau komoditas kunci’ di
komunitas mereka; baju band atau merchandise
bajakan, sepatu yang sudah diidentifikasikan dengan band pujaan mereka,
atau mungkin kaset, CD, dan/atau file mp3 yang mereka miliki misalnya.
Lebih
jauh lagi, reifikasi ternyata mempunyai konsekuensi yang lebih mengerikan:
reifikasi membuat persepsi manusia terhadap dunia menjadi terpecah menjadi
fragmen-fragmen atau jika meminjam istilahnya Georg Lukacs, membuat manusia
menjadi subjek yang terfragmentasi (Lukacs 89). Maka dalam contoh yang pertama
(klub-klub motor dan mobil), hubungan antara sesama anggota klub-klub ini hanya
didefinisikan oleh motor dan mobil mereka, mereka tidak mampu melihat bahwa
mereka sesungguhnya hidup dalam sebuah totalitas dimana dalam totalitas tersebut
motor atau mobil mereka merupakan produk dari manusia dan tidak seharusnya
menjadi tolok ukur untuk mendefinisikan hubungan antar manusia. Selain itu itu
hubungan yang didefinisikan oleh komoditas seperti ini juga membuat mereka
tidak mampu melihat bahwa hubungan antar manusia itu harusnya ditentukan oleh
persahabatan, atau minat untuk berkomunikasi.
Untuk
contoh yang kedua, ekistensi mereka dalam komunitas (yang mengaku bagian dari) counterculture yang didefinisikan oleh
komoditas-komoditas yang mereka miliki membuat mereka menjadi subjek-subjek
terfragmentasi yang gagal untuk melihat bahwa counterculture tersebut merupakan bagian dari totalitas sejarah
dimana secara politis counterculture
tersebut –misalnya punx – sebenarnya secara
form musik, content lirik, maupun attitude merupakan negasi terhadap
nilai-nilai dominan yang dalam konteks pembacaan materialisme sejarah tentu
saja adalah properti kelas berkuasa pada saat counterculture ini lahir. Jadi akan sangat ironis dan miris rasanya
jika seorang anak muda yang mengaku punxrocker,
yang band favoritnya Anti-Flag dan NOFX –
dua band ini terkenal sangat kritis terhadap keiirasionalitas masyarakat saat
ini – dengan tanpa rasa bersalah mengucapkan kalimat tolol seperti “ngapain sih
sok-sok politik?” setelah ia dan bandnya baru saja membawakan cover version lagu NOFX yang berjudul Murder the Government di sebuah panggung
underground.
Saya
kira menarik juga untuk menyoroti peringatan Hari Kartini dengan perspektif
yang sedang kita bahas saat ini. Dua hari sebelum peringatan Hari Kartini saya
mampir di sebuah pusat perbelanjaan. Di depan pintu masuk pusat perbelanjaan
tersebut pengunjung langsung disambut oleh sebuah panggung yang pada saat saya
melintas sedang dipenuhi oleh perempuan-perempuan muda yang memakai kebaya dan
dilatarbelakangi oleh sebuah spanduk yang ada tulisan ‘emansipasi wanita’nya. Tapi
sampai akhir acara saya tidak melihat ada pembahasan mengenai apa itu
emansipasi wanita dan apa hubungan Kartini dengan istilah yang sebenarnya
sangat penting ini. Yang ada hanya peragaan kebaya dan penyanyi serta band
pengiringnya yang semuanya perempuan yang memakai kebaya.
Memang
harus diakui bahwa Kartini dan pandangannya punya peran penting dalam
membebaskan perempuan dari belenggu yang merantai mereka pada
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestik. Tapi akan sangat dangkal rasanya
jika Hari Kartini diperingati dengan cara peragaan kebaya dan
perempuan-perempuan muda yang memakai kebaya ketika bermain band. Penekanan
saya pada hal ini adalah ‘kebaya’. Dalam konteks pembahasan kita saat ini saya
hendak mengatakan bahwa ranah ‘emansipasi wanita’ pun tidak luput dari kooptasi
kapitalisme. Perempuan-perempuan yang sudah diubah oleh kapitalisme menjadi
subjek-subjek yang terfragmentasi akhirnya hanya dapat mengekspresikan diri
mereka dalam memperingati Hari Kartini dalam penjara yang jerujinya adalah
kebaya yang mereka pakai. Mereka gagal untuk melihat bahwa Kartini dan
pemikirannya merupakan negasi terhadap masyarakat klasis, rasis, dan patriarkal
pada zaman kolonial.
Perempuan-perempuan
yang sudah diubah menjadi subjek-subjek yang terfragmentasi tersebut juga gagal
untuk melihat bahwa yang dibutuhkan perempuan dan peringatan Hari Kartini saat
ini bukanlah peragaan kebaya tapi penggalian kembali makna dari ‘emansipasi
wanita’. Hal ini penting mengingat saat ini perempuan merupakan korban terparah
dari masyarakat patriarkal nan kapitalis – iklan terbaru Extra Joss merupakan
contoh paling mutakhir karena selain mereproduksi nilai-nilai tradisional
masyarakat patriarkal yang selalu menempatkan perempuan sebagai pihak
subordinat dalam gugus oposisi biner, iklan ini juga menggunakan nilai-nilai
tersebut untuk mengidentifikasikan produk mereka dengan masyarakat (khususnya
laki-laki) kita yang masih hidup dalam sistem patriarkal yang kental dan tentu
saja pengidentifikasian ini bertujuan untuk membuat produk Extra Joss ini lebih
laku di pasaran . Karena itulah menurut hemat saya, generasi muda saat ini
khususnya perempuan harus menyadari hal ini.
Selain
membuat manusia menjadi subjek-subjek yang terfragmentasi, reifikasi juga
mentransformasikan manusia menjadi seperti benda yang bertingkah laku sesuai
dengan hukum dunia benda-benda (Bottomore 463). Hal ini membuat saya teringat
pelatihan debat untuk mahasiswa yang saya hadiri beberapa hari lalu, sebenarnya
tidak ada yang salah dengan debat selama yang berdebat atau peserta sebuah
lomba debat membela apa yang mereka percaya, namun yang menjadi masalah adalah ketika
keynote speaker pelatihan tersebut
menerangkan peraturan dari sebuah lomba debat. Keynote speaker pelatihan
tersebut menerangkan bahwa dalam lomba debat apa yang peserta debat percayai
tidaklah penting, karena para peserta debat tidak punya wewenang untuk
menentukan sisi mana yang ingin mereka bela, jadi walaupun seorang peserta
debat misalnya percaya bahwa invasi Amerika ke Iraq itu salah tapi kalau ia
ditempatkan di posisi affirmative
atau government maka ia harus siap
membela sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia percaya. Yang menarik sekaligus
juga membuat miris dari pelatihan tersebut adalah jumlah peserta yang resah –
bahkan sebenarnya yang resah bukan mahasiswa yang jadi peserta, tapi beberapa
dosen yang menjadi pendamping mahasiswa yang ikut pelatihan tersebut – dengan
peraturan lomba debat ternyata tidak lebih banyak dari jumlah jari sebelah
tangan, sementara yang lain merasa senang-senang saja bahkan terlihat antusias
diperlakukan seperti benda.
Saya
kira, sebagai sebuah artefak budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
kapitalisme, logika lomba debat ini sesungguhnya merefleksikan logika dari mode
produksi saat ini dimana manusia ditransformasikan menjadi benda yang tidak
punya kontrol terhadap dirinya, manusia hanya mengisi slot-slot yang telah
ditentukan tanpa pernah punya kontrol untuk menentukan slot mana yang akan
mereka isi.
Melihat hasil pembacaan Marxist terhadap iklan ‘One Heart’ Honda dan realitas sosial saat ini yang direfleksikannya terlihat jelas
bahwa reifikasi sudah menghujam dalam ke kesadaran anak muda – dalam tataran yang lebih luas frase ‘anak
muda’ ini bisa ditukar dengan ‘masyarakat’ – di tengah suramnya gemerlap
globalisasi saat ini. Reifikasi yang sudah menghujam sedemikian dalam membuat
banyak anak muda terasing dari manusia lain karena pandangannya terhadap
manusia lain terpusat pada benda-benda yang mereka miliki bukan pada manusianya
sehingga alih-alih membangun sebuah komunitas yang dipersatukan oleh kesamaan
minat untuk berinteraksi dan berkomunikasi, mereka malah cenderung membangun
sebuah komunitas yang dipersatukan oleh benda-benda dan komoditas.
Lebih
jauh lagi, reifikasi yang menenggelamkan banyak anak muda ke dalam lautan
benda-benda dan komoditas membuat anak-anak muda ini buta terhadap fakta bahwa counterculture seperti punx dan juga Kartini beserta
pemikirannya secara politis merupakan negasi terhadap nilai-nilai yang
dimapankan dan dianggap mapan oleh masyarakat dominan. Dengan kata lain
anak-anak muda ini terasing dari potensi manusia untuk dapat menggunakan
imajinasi dalam menjelajahi sejarah serta berpikir kritis. Dalam konteks pelatihan
debat yang saya ilustrasikan sebelumnya, para peserta lomba debat yang terpaksa
membela apa yang tidak dipercayanya karena ditempatkan pada posisi government, atau para peserta lomba debat yang terpaksa menyerang apa yang
dipercayanya karena ditempatkan pada posisi opposition
malah menjadi benda yang tidak punya kontrol atas dirinya diantara lautan
benda-benda. Mereka menjadi terasing karena keseluruhan aktivitas mereka selama
berdebat adalah aktivitas yang asing bagi mereka, sehingga hasil dari debat
tersebut – menang atau kalah – juga adalah hasil yang asing. Selain itu,
keantusiaan yang diperlihatkan oleh para peserta pelatihan debat dapat dianggap
sebagai refleksi dari keantusian anak muda sekarang untuk diperlakukan sebagai
benda dan menerima keterasingan.
Gambaran suram diatas sepertinya memang mengisyaratkan
bahwa kita hampir tidak punya ruang untuk menyelamatkan diri, namun saya kira
kesempatan untuk paling tidak menjaga kewarasan kita dalam asylum ini masih ada jika kita berusaha untuk – seperti yang
diisyaratkan oleh Gung Ayu dalam pidatonya yang disampaikan pada 10 November
2008 di Taman Ismail Marzuki – berhenti mengeramatkan sejarah dan mulai
menjelajahinya untuk memperluas daya imajinasi kita sehingga kita bisa
memandang dunia dengan lebih kritis. Selain itu kita juga bisa untuk mulai
mematikan televisi yang seringkali membuat kita menerima struktur keterasingan
ini sebagai hal yang natural dan segera menjelajahi internet untuk menemukan
alternatif-alternatif seperti buku, karya sastra, film, atau lagu dari
band-band dan penyanyi yang mengajak kita untuk menolak struktur keterasingan
ini.
Pencuri
Api 27 April 2011
Daftar
Pustaka
Bottomore, Tom et al. A
Dictionary of Marxist Thought. Oxford: Blackwell, 2001.
Hitchcock,
Lousie A. Theory for Classics: A Student’s Guide. New York: Routledge,
2008.
Lukacs, Georg. History
and Class Conciousness. Trans. Rodney Livingstone. Massachusetts: The Mit
Press, 1971.
Roberts, Adam. Fredric Jameson. New
York: Routledge,
2000.
Thorne, Tony. Kultus Underground: Pengantar Untuk
Memahami Budaya (Kaum Muda) Pascamodern. Trans. Devo Rizki. Yogyakarta:
Continuum, 2008.
Walker, David and Daniel Gray. Historical
Dictionary of Marxism. Plymouth: the Scarecrow Press, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar